Menanamkan nilai-nilai Praja Muda Karana (Pramuka) kepada generasi muda saat ini bukan pekerjaan gampang. Bagi mereka, Pramuka masih dicap sebagai perkumpulan orang-orang yang suka tepuk tangan dan kurang kerjaan. Anggapan itu sulit ditepis. Mengingat laju modernisasi budaya dan teknologi yang melesat hebat membuat generasi muda ogah-ogahan mengikuti organisasi sukarela tersebut. Alhasil, hanya 'orang-orang tua' yang concern atau perhatian menjalankan misi Pramuka.
"Memang sulit mengembalikan semangat Pramuka seperti dulu. Banyak orang melihat peran Pramuka tidak ada, karena mereka hanya melihat dari seragam bukan dari pribadi orangnya," kata Kepala Lembaga Kader Pendidikan Pramuka Cabang Kota Yogyakarta Ki Sutikno kepada wartawan di Balaikota, Selasa (14/8).
Padahal, lanjut dia, Pramuka mengajarkan dasar-dasar kehidupan manusia. Pramuka juga mengajarkan cara bertahan hidup di kala susah, hingga berjuang ketika bangsa ini membutuhkan. Karena sejak dulu, Pramuka selalu mendidik kadernya untuk hidup dan mengenal alam terbuka. Wajar, jika Pramuka mirip outbond, karena Pramuka lahir lebih dulu ketimbang kegitan alam bebas itu.
"Hari gini ribet ngapalin morse atau semapor kan sudah ada handphone. Coba bayangkan Anda hidup di tengah hutan yang tidak ada sinyal. Kita juga bisa belajar dari bencana gempa setahun silam," katanya.
Saat ini, jumlah kader Pramuka di Kota Yogya 20.000 orang. Penyumbang terbanyak adalah siswa SD dan SMP. Tidak seperti dulu, ekstrakurikuler Pramuka di SMP tidak lagi dienyam hingga kelas 3 karena alasan para siswa harus mengejar prestasi.
Di Hari Jadi ke-46 Pramuka, revitalisasi Pramuka mutlak dilakukan. 'Aku Bangga Jadi Pramuka' adalah tema berikutnya yang harus dipikirkan. Sebab, perjuangan meneruskan nilai-nilai kehidupan yang diajarkan Bapak Pandu Sedunia Lord Robert Baden-Powell masih panjang. "Pramuka adalah perkumpulan sukarela, bukan organisasi wajib. Pramuka itu seleksi alam," kata Ki Sutikno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar